Selasa, 06 November 2007

KEDUDUKAN HADITS DALAM HUKUM ISLAM


  1. RASULULLAH SEBAGAI MODEL MANUSIA SEMPURNA

Allah swt telah mengutus para rasul untuk membimbing ummat manusia dalam menjalani kehidupan mereka di muka bumi ini sebagai khalifah yang diamanahi menghuni dan memelihara bumi ini dan sebagai hamba yang diciptakan tiada lain hanya untuk beribadah kepada-Nya.

Allah swt dengan kebijaksanaan dan kasih sayang-Nya mengutus para rasul dari golongan manusia itu sendiri dengan tujuan agar kita dapat mudah mengikuti oleh ummat manusia. Bisa dibayangkan apabila para rasul itu para malaikat atau makhluq Allah yang lainnya, tentu saja kita akan kesulitan untuk memahami dan mengikutinya. Allah swt berfirman,

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”(Q.S. Ali Imran: 164)

Sungguh diutusnya Nabi Muhammad saw adalah sebuah karunia yang sangat besar yang diberikan Allah swt kepada kita semua. Karena dengan diutusnya seorang manusia untuk manusia adalah salah satu bukti kebijaksanaan Allah swt kepada hamba-hamba-Nya.

Nabi Muhammad adalah uswah hasanah bagi ummat islam, segala ucapan, perbuatan, keputusannya bahkan seluruh aspek kehidupannya dari mulai beliau bangun tidur hingga beliau tidur kembali adalah uswah hasanah bagi kita semua.

Karena itu, tidaklah mungkin Allah swt memberikan kepada ummat-Nya model manusia yang terdapat kekurangan pada dirinya. Karena itu yang layak dijadikan model manusia untuk menjadi tuntunan bagi manusia lainnya ialah sosok manusia ideal yang tidak ada cela pada dirinya, tentu saja dalam kapasitasnya sebagai seorang manusia.

Dari sekian banyak manusia yang diciptakan Allah swt, maka Nabi Muhammad lah yang dipilih oleh Allah untuk menyampaikan wahyu-Nya kepada ummat manusia, juga diamanahi untuk menjelaskan apa yang telah diturunkan kepadanya.

  1. KEWAJIBAN MENTA’ATI RASULULLAH DI MASA HAYAT BELIAU

Pada zaman Rasulullah, para sahabat mengambil hukum dari al-Qur’an yang disampaikan oleh rasulullah kepada mereka beserta penjelasan yang dijelaskan oleh Rasulullah. Karena dalam al-Qur’an ada perintah-perintah yang umum, sehingga membutuhkan penjelasan dari Rasulullah. Karena tidak ada orang yang paling mengerti tentang al-Qur’an kecuali Rasulullah sendiri.

Perintah-perintah yang umum itu kemudian dijabarkan dan dijelaskan oleh Rasulullah. Seperti dalam al-Qur’an Allah swt memerintahkan kepada kita untuk mendirikan shalat, akan tetapi dalam al-Qur’an tidak terdapat penjelasan bagaimana tatacara kita mengerjakan shalat dan waktu-waktu kita shalat, dalam al-Qur’an Allah pun memerintahkan kepada kita untuk menunaikan zakat, akan tetapi al-Qur’an tidak menjelaskan berapa nisabnya, kapan waktu mengeluarkannya serta harus kepada siapa saja kita memberikan zakat tersebut dan sebagainya.

Al-Qur’an sendiri menerangkan betapa pentingnya posisi Rasulullah saw dalam memberikan penjelasan tentang wahyu Allah, seperti yang tercantum dalam Q.S An-Nahl: 64,

Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu (Muhammad) dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (Q.S An Nahl:64)

Dr. Musthafa Assiba’I menuliskan dalam bukunya”AL-HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM” 11 dalil yang mewajibkan kaum muslimin mengikuti perintah-perintah Rasulullah serta menjauhi larangannya.

    1. Perintah untuk merealisasikan ajaran Rasulullah saw, terdapat dalam Q.S Al-Hasyr:7,
    2. Perintah agar mentaati Rasulullah saw yang disatu nafaskan dengan taat kepada Allah swt,terdapat dalam Q.S Ali Imran:132,
    3. Anjuran agar kaum muslimin selalu menyambut ajakan Rasulullah saw, terdapat dalam Q.S Al-Anfal:24,
    4. Peningkatan ketaatan seseorang kepada Rasulullah sebagai taat kepada Allah, terdapat dalam Q.S An Nisa:80,
    5. Perintah taat kepada Rasulullah agar supaya mendapat kasih sayang Allah swt, terdapat dalam Q.S Ali Imran:31,
    6. Peringatan Allah swt kepada orang yang menyalahi perintah Rasul, terdapat dalam Q.S An Nur:63,
    7. Peringatan Allah kepada orang yang menyalahi Rasul, terdapat dalam Q.S Ali Imran:32,

    1. Larangan menyalahi hukum-hukum dan perintah Rasul saw, terdapat dalam Q.S al Ahzab:36,

    1. Gambaran manusia munafik karena memalingkan diri dari keputusan Rasulullah dalam hal-hal perselisihan, terdapat dalam Q.S An Nur:47-48,
    2. Gambaran manusia beriman, terdapat dalam Q.S An Nur:51
    3. Larangan meninggalkan majlis yang dihadiri Rasul tanpa izin beliau sebagai tanda iman. Hal ini tercantum dalam Q.S An Nur:

  1. KEWAJIBAN MENTA’ATI RASULULLAH SETELAH BELIAU WAFAT

Didalam al-Qur’an, perintah untuk mentaati Rasulullah saw adalah sebuah perintah yang umum (‘Amm) tanpa ada Taqyid (batasan) waktu dan tempat, sebagaimana firman-Nya:

Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".(Ali Imran:32)

Artinya walaupun kita tidak pernah bertemu dengan Rasulullah saw, akan tetapi kewajiban untuk mentaati beliau tetap berlaku kepada kita selaku orang yang beriman.

Segala ucapan, perilaku dan ketetapan hukum Rasulullah saw bersumber dari pembuat syari’at (Allah) yang pasti benarnya. Oleh karena itu Allah memerintahkan ummat manusia untuk mentaati pembawa syari’at itu. Jadi tiada bedanya apakah beliau masih hidup ataukah sesudah wafat.[1]

Wajibnya mengikuti sunnah Rasulullah baik ketika adanya atau tidak adanya beliau, digambarkan dalam sebuah hadits yang ditujukan kepada Mu’adz bin Jabal yang akan diutus ke Yaman:

فقال له: كيف تقضى إذا عرض لك قضاء؟ قال: أقضى بكتاب الله, قال: فإن لم يكن فى كتاب الله؟ قال: فسنة رسول الله, قال: فإن لم يكن فى سنة رسول الله؟ قال: اجتهد رأيي ولاآلو, فضرب رسول الله ص على صدره وقال: الحمد لله الذى وفق رسول رسول الله لما يرضى رسول الله.

(ح. ر. أحمد, أبو داود, الترمذي, الدارمى و البيهقى)

(Nabi Muhammad) bersabda kepadanya: “Bagaimana anda akan memutuskan suatu perkara yang dihadapkan kepadamu?”. Mu’adz menjawab: “Akan saya hukumi dengan kitab Allah”. (Nabi) bersabda: “Dan sekiranya hukum tersebut tidak terdapat dalam Kitab Allah?”. Mu’adz menjawab: “Dengan sunnah Rasulullah”. Nabi bersabda: “Dan bila tidak terdapat dalam sunnah Rasulullah?”. Mu’adz menjawab: “Saya akan berijtihad mencari jalan keluar, dan saya tidak akan berputus asa”. Rasulullah menepuk dadanya (karena gembira) dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah, sesuai dengan apa yang diridhai oleh Rasulullah saw”

H.R. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ad Darimi dan al Baihaqi

Walaupun Rasulullah tidak pergi bersama Mu’adz bin Jabal ke Yaman, akan tetapi Mu’adz bin Jabal tetap menjadikan landasan keputusannya ialah Al-Qur’an kemudian As Sunnah. Itu adalah bukti ketaatan para sahabat kepada Rasulullah walaupun beliau titak bersama mereka.

Kitapun selaku ummat Nabi Muhammad selayaknya mengikuti apa yang diputuskan oleh Rasulullah dan memegangnya erat-erat sehingga menjadi pedoman hidup setelah al-Qur’an. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw:

تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله و سنتى.

Aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat sama sekali, selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnahku

(H.R Al Hakim dan Ibnu Abdil Bar, dari Abdullah bin Umar bin ‘Auf, dari Ayahnya, yang bersumber dari kakenya)

  1. KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITS DALAM SYARI’AT

Rasulullah saw sebagai seseorang yang diberikan wahyu bertindak pula sebagai seorang mubayyin (penjelas) atas wahyu tersebut. Sebagaimana diterangkan oleh Allah swt dalam firman-Nya:

dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (Q.S An Nahl: 44)

Nabi Muhammad saw menjelaskan apa yang dimaksud dalam al-Qur’an kadangkala dengan perkataan, perbuatan dan (taqrir) persetujuan beliau yang selanjutnya kita kenal dengan hadits atau sunnah.

Dengan ini jelaslah bahwa sunnah itu yang menerangkan isi al-Qur’an, menjelaskan kesimpulannya, membatasi muthlaqnya dan menguraikan kemusykilan (kesulitan)nya.[2]

Hadits atau sunnah Nabi disepakati oleh seluruh ulama dan kaum muslimin sebagai sumber hukum islam yang kedua setelah al-Qur’an. Penetapan hadits sebagai sumber kedua ditunjukkan oleh tiga hal, yaitu al-Qur’an sendiri, kesepakatan (ijma’) ulama, dan logika akal sehat (ma’qul).[3]

Kata imam Asy Syathiby: “Derajat atau tingkatan “sunnah” itu dibawah atau dibelakang al-Qur’an, pada ibaratnya.[4]

Syaikh Manna al-Qathan mengutarakan juga kedudukan As Sunnah dalam dalil-dalil syari’at berada di bawah kedudukan Al-Qur’an, dalilnya

· Bahwa Al-Qur’an itu qath’I karena mutawatir. Sedangkan As Sunnah adalah zhanni karena terkadang banyak yang ahad. Yang qath’I didahulukan atas yang zhanni.

· Bahwa As-Sunnah adalah sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an, atau sebagai penambah baginya. Jika sebagai penjelas, maka keberadaannya adalah setelah Al-Qur’an.

· Adanya khabar dan atsar yang menunjukkan hal itu, seperti hadits Mu’adz.[5]

Dalam al-Qur’an pun terdapat penjelasan tentang kedudukan sunnah atau hadits, sebagaimana dalam firman-Nya,

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.(Q.S Ali Imran:164)

Ulama jumhur dan para ahli peneliti (muhaqqiq) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Al-Hikmah yang tersebut dalam ayat diatas itu bukan al-Qur’an. Hikmah itu mencakup rahasia-rahasia agama serta ketentuan syari’at yang diturunkan Allah kepada Rasul. Ulama mengisyaratkan Hikmah itu sebagai Assunnah.[6]

Imam syafi’I rahimahullah juga menyimpulkan bahwa al Hikmah itu ialah hadits atau sunnah dengan pertimbangan

· Penyebutan istilah Kitab diiringi dengan penyebutan Hikmah

· Penggunaan fardlu hanya boleh didasarkan pada Al-Qur’an dan As Sunnah

· Iman kepada Allah, digandengkan dengan iman kepada Rasul-Nya

· Taat kepada Allah digandengkan dengan taat kepada Rasul.

Jadi kesimpulannya ialah posisi hadits atau sunnah itu ialah sumber kedua pengambilan hukum islam setelah al-Qur’an dan sebagai penjelas dari perkara-perjara yang umum dalam al-Qur’an.

Imam Syafi’I berkata:

كل ما حكم به رسول الله صلى الله عليه وسلم فهو مما فهمه من القرآن

“Segala apa yang dihukumkan oleh Rasulullah saw itu, semuanya dari apa-apa yang difahamkannya dari Al-Qur’an.[7]

Dalam pengambilan hukum harus selalu berdasar kepada al-Qur’an dan As-Sunnah, Karena keduanya tidak dapat dipisahkan. Keterkaitan keduanya tampak pada

· Hadits menguatkan hukum yang ditetapkan dalam al-Qur’an

· Hadits memberikan rincian terhadap pernyataan al-Qur’an yang bersifat global

· Hadits membatasi kemutlakan ayat al-Qur’an

· Hadits memberikan pengecualian terhadap pernyataan yang bersifat umum, dan

· Hadits menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh al-Qur’an.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul Karim

Al Qathan Manna, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 2006

Assiba’I Musthafa, AL-HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM,Bandung, CV.Diponegoro,1990

Chalil Moenawar, KEMBALI KEPADA AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH, Jakarta, Bulan Bintang, 1961

Khaeruman Badri, Otentisitas Hadis STUDI KRITIS ATAS KAJIAN HADIS KONTEMPORER, Bandung, Rosdakarya, 2004

TIM DOSEN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM, ISLAM Dokrin dan Dinamika Umat, Bandung, Value Press,2006



[1] Ibid, hal.83

[2] Khalil Moenawar, KEMBALI KEPADA AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH, Jakarta, Bulan Bintang, 1961, hal. 203

[3] TIM DOSEN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM, ISLAM Dokrin dan Dinamika Umat, Bandung, VALUE PRESS, 2006, hal. 61

[4] Khalil Moenawar, KEMBALI KEPADA AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH, Jakarta, Bulan Bintang, 1961, hal.206

[5] Al Qathan Manna, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 2006, hal.

[6] Ibid, hal. 73

[7] Khalil Moenawar, KEMBALI KEPADA AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH, Jakarta, Bulan Bintang, 1961, hal. 209

Tidak ada komentar: