Selasa, 06 November 2007

KEDUDUKAN HADITS DALAM HUKUM ISLAM


  1. RASULULLAH SEBAGAI MODEL MANUSIA SEMPURNA

Allah swt telah mengutus para rasul untuk membimbing ummat manusia dalam menjalani kehidupan mereka di muka bumi ini sebagai khalifah yang diamanahi menghuni dan memelihara bumi ini dan sebagai hamba yang diciptakan tiada lain hanya untuk beribadah kepada-Nya.

Allah swt dengan kebijaksanaan dan kasih sayang-Nya mengutus para rasul dari golongan manusia itu sendiri dengan tujuan agar kita dapat mudah mengikuti oleh ummat manusia. Bisa dibayangkan apabila para rasul itu para malaikat atau makhluq Allah yang lainnya, tentu saja kita akan kesulitan untuk memahami dan mengikutinya. Allah swt berfirman,

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”(Q.S. Ali Imran: 164)

Sungguh diutusnya Nabi Muhammad saw adalah sebuah karunia yang sangat besar yang diberikan Allah swt kepada kita semua. Karena dengan diutusnya seorang manusia untuk manusia adalah salah satu bukti kebijaksanaan Allah swt kepada hamba-hamba-Nya.

Nabi Muhammad adalah uswah hasanah bagi ummat islam, segala ucapan, perbuatan, keputusannya bahkan seluruh aspek kehidupannya dari mulai beliau bangun tidur hingga beliau tidur kembali adalah uswah hasanah bagi kita semua.

Karena itu, tidaklah mungkin Allah swt memberikan kepada ummat-Nya model manusia yang terdapat kekurangan pada dirinya. Karena itu yang layak dijadikan model manusia untuk menjadi tuntunan bagi manusia lainnya ialah sosok manusia ideal yang tidak ada cela pada dirinya, tentu saja dalam kapasitasnya sebagai seorang manusia.

Dari sekian banyak manusia yang diciptakan Allah swt, maka Nabi Muhammad lah yang dipilih oleh Allah untuk menyampaikan wahyu-Nya kepada ummat manusia, juga diamanahi untuk menjelaskan apa yang telah diturunkan kepadanya.

  1. KEWAJIBAN MENTA’ATI RASULULLAH DI MASA HAYAT BELIAU

Pada zaman Rasulullah, para sahabat mengambil hukum dari al-Qur’an yang disampaikan oleh rasulullah kepada mereka beserta penjelasan yang dijelaskan oleh Rasulullah. Karena dalam al-Qur’an ada perintah-perintah yang umum, sehingga membutuhkan penjelasan dari Rasulullah. Karena tidak ada orang yang paling mengerti tentang al-Qur’an kecuali Rasulullah sendiri.

Perintah-perintah yang umum itu kemudian dijabarkan dan dijelaskan oleh Rasulullah. Seperti dalam al-Qur’an Allah swt memerintahkan kepada kita untuk mendirikan shalat, akan tetapi dalam al-Qur’an tidak terdapat penjelasan bagaimana tatacara kita mengerjakan shalat dan waktu-waktu kita shalat, dalam al-Qur’an Allah pun memerintahkan kepada kita untuk menunaikan zakat, akan tetapi al-Qur’an tidak menjelaskan berapa nisabnya, kapan waktu mengeluarkannya serta harus kepada siapa saja kita memberikan zakat tersebut dan sebagainya.

Al-Qur’an sendiri menerangkan betapa pentingnya posisi Rasulullah saw dalam memberikan penjelasan tentang wahyu Allah, seperti yang tercantum dalam Q.S An-Nahl: 64,

Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu (Muhammad) dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (Q.S An Nahl:64)

Dr. Musthafa Assiba’I menuliskan dalam bukunya”AL-HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM” 11 dalil yang mewajibkan kaum muslimin mengikuti perintah-perintah Rasulullah serta menjauhi larangannya.

    1. Perintah untuk merealisasikan ajaran Rasulullah saw, terdapat dalam Q.S Al-Hasyr:7,
    2. Perintah agar mentaati Rasulullah saw yang disatu nafaskan dengan taat kepada Allah swt,terdapat dalam Q.S Ali Imran:132,
    3. Anjuran agar kaum muslimin selalu menyambut ajakan Rasulullah saw, terdapat dalam Q.S Al-Anfal:24,
    4. Peningkatan ketaatan seseorang kepada Rasulullah sebagai taat kepada Allah, terdapat dalam Q.S An Nisa:80,
    5. Perintah taat kepada Rasulullah agar supaya mendapat kasih sayang Allah swt, terdapat dalam Q.S Ali Imran:31,
    6. Peringatan Allah swt kepada orang yang menyalahi perintah Rasul, terdapat dalam Q.S An Nur:63,
    7. Peringatan Allah kepada orang yang menyalahi Rasul, terdapat dalam Q.S Ali Imran:32,

    1. Larangan menyalahi hukum-hukum dan perintah Rasul saw, terdapat dalam Q.S al Ahzab:36,

    1. Gambaran manusia munafik karena memalingkan diri dari keputusan Rasulullah dalam hal-hal perselisihan, terdapat dalam Q.S An Nur:47-48,
    2. Gambaran manusia beriman, terdapat dalam Q.S An Nur:51
    3. Larangan meninggalkan majlis yang dihadiri Rasul tanpa izin beliau sebagai tanda iman. Hal ini tercantum dalam Q.S An Nur:

  1. KEWAJIBAN MENTA’ATI RASULULLAH SETELAH BELIAU WAFAT

Didalam al-Qur’an, perintah untuk mentaati Rasulullah saw adalah sebuah perintah yang umum (‘Amm) tanpa ada Taqyid (batasan) waktu dan tempat, sebagaimana firman-Nya:

Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".(Ali Imran:32)

Artinya walaupun kita tidak pernah bertemu dengan Rasulullah saw, akan tetapi kewajiban untuk mentaati beliau tetap berlaku kepada kita selaku orang yang beriman.

Segala ucapan, perilaku dan ketetapan hukum Rasulullah saw bersumber dari pembuat syari’at (Allah) yang pasti benarnya. Oleh karena itu Allah memerintahkan ummat manusia untuk mentaati pembawa syari’at itu. Jadi tiada bedanya apakah beliau masih hidup ataukah sesudah wafat.[1]

Wajibnya mengikuti sunnah Rasulullah baik ketika adanya atau tidak adanya beliau, digambarkan dalam sebuah hadits yang ditujukan kepada Mu’adz bin Jabal yang akan diutus ke Yaman:

فقال له: كيف تقضى إذا عرض لك قضاء؟ قال: أقضى بكتاب الله, قال: فإن لم يكن فى كتاب الله؟ قال: فسنة رسول الله, قال: فإن لم يكن فى سنة رسول الله؟ قال: اجتهد رأيي ولاآلو, فضرب رسول الله ص على صدره وقال: الحمد لله الذى وفق رسول رسول الله لما يرضى رسول الله.

(ح. ر. أحمد, أبو داود, الترمذي, الدارمى و البيهقى)

(Nabi Muhammad) bersabda kepadanya: “Bagaimana anda akan memutuskan suatu perkara yang dihadapkan kepadamu?”. Mu’adz menjawab: “Akan saya hukumi dengan kitab Allah”. (Nabi) bersabda: “Dan sekiranya hukum tersebut tidak terdapat dalam Kitab Allah?”. Mu’adz menjawab: “Dengan sunnah Rasulullah”. Nabi bersabda: “Dan bila tidak terdapat dalam sunnah Rasulullah?”. Mu’adz menjawab: “Saya akan berijtihad mencari jalan keluar, dan saya tidak akan berputus asa”. Rasulullah menepuk dadanya (karena gembira) dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah, sesuai dengan apa yang diridhai oleh Rasulullah saw”

H.R. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ad Darimi dan al Baihaqi

Walaupun Rasulullah tidak pergi bersama Mu’adz bin Jabal ke Yaman, akan tetapi Mu’adz bin Jabal tetap menjadikan landasan keputusannya ialah Al-Qur’an kemudian As Sunnah. Itu adalah bukti ketaatan para sahabat kepada Rasulullah walaupun beliau titak bersama mereka.

Kitapun selaku ummat Nabi Muhammad selayaknya mengikuti apa yang diputuskan oleh Rasulullah dan memegangnya erat-erat sehingga menjadi pedoman hidup setelah al-Qur’an. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw:

تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله و سنتى.

Aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat sama sekali, selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnahku

(H.R Al Hakim dan Ibnu Abdil Bar, dari Abdullah bin Umar bin ‘Auf, dari Ayahnya, yang bersumber dari kakenya)

  1. KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITS DALAM SYARI’AT

Rasulullah saw sebagai seseorang yang diberikan wahyu bertindak pula sebagai seorang mubayyin (penjelas) atas wahyu tersebut. Sebagaimana diterangkan oleh Allah swt dalam firman-Nya:

dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (Q.S An Nahl: 44)

Nabi Muhammad saw menjelaskan apa yang dimaksud dalam al-Qur’an kadangkala dengan perkataan, perbuatan dan (taqrir) persetujuan beliau yang selanjutnya kita kenal dengan hadits atau sunnah.

Dengan ini jelaslah bahwa sunnah itu yang menerangkan isi al-Qur’an, menjelaskan kesimpulannya, membatasi muthlaqnya dan menguraikan kemusykilan (kesulitan)nya.[2]

Hadits atau sunnah Nabi disepakati oleh seluruh ulama dan kaum muslimin sebagai sumber hukum islam yang kedua setelah al-Qur’an. Penetapan hadits sebagai sumber kedua ditunjukkan oleh tiga hal, yaitu al-Qur’an sendiri, kesepakatan (ijma’) ulama, dan logika akal sehat (ma’qul).[3]

Kata imam Asy Syathiby: “Derajat atau tingkatan “sunnah” itu dibawah atau dibelakang al-Qur’an, pada ibaratnya.[4]

Syaikh Manna al-Qathan mengutarakan juga kedudukan As Sunnah dalam dalil-dalil syari’at berada di bawah kedudukan Al-Qur’an, dalilnya

· Bahwa Al-Qur’an itu qath’I karena mutawatir. Sedangkan As Sunnah adalah zhanni karena terkadang banyak yang ahad. Yang qath’I didahulukan atas yang zhanni.

· Bahwa As-Sunnah adalah sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an, atau sebagai penambah baginya. Jika sebagai penjelas, maka keberadaannya adalah setelah Al-Qur’an.

· Adanya khabar dan atsar yang menunjukkan hal itu, seperti hadits Mu’adz.[5]

Dalam al-Qur’an pun terdapat penjelasan tentang kedudukan sunnah atau hadits, sebagaimana dalam firman-Nya,

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.(Q.S Ali Imran:164)

Ulama jumhur dan para ahli peneliti (muhaqqiq) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Al-Hikmah yang tersebut dalam ayat diatas itu bukan al-Qur’an. Hikmah itu mencakup rahasia-rahasia agama serta ketentuan syari’at yang diturunkan Allah kepada Rasul. Ulama mengisyaratkan Hikmah itu sebagai Assunnah.[6]

Imam syafi’I rahimahullah juga menyimpulkan bahwa al Hikmah itu ialah hadits atau sunnah dengan pertimbangan

· Penyebutan istilah Kitab diiringi dengan penyebutan Hikmah

· Penggunaan fardlu hanya boleh didasarkan pada Al-Qur’an dan As Sunnah

· Iman kepada Allah, digandengkan dengan iman kepada Rasul-Nya

· Taat kepada Allah digandengkan dengan taat kepada Rasul.

Jadi kesimpulannya ialah posisi hadits atau sunnah itu ialah sumber kedua pengambilan hukum islam setelah al-Qur’an dan sebagai penjelas dari perkara-perjara yang umum dalam al-Qur’an.

Imam Syafi’I berkata:

كل ما حكم به رسول الله صلى الله عليه وسلم فهو مما فهمه من القرآن

“Segala apa yang dihukumkan oleh Rasulullah saw itu, semuanya dari apa-apa yang difahamkannya dari Al-Qur’an.[7]

Dalam pengambilan hukum harus selalu berdasar kepada al-Qur’an dan As-Sunnah, Karena keduanya tidak dapat dipisahkan. Keterkaitan keduanya tampak pada

· Hadits menguatkan hukum yang ditetapkan dalam al-Qur’an

· Hadits memberikan rincian terhadap pernyataan al-Qur’an yang bersifat global

· Hadits membatasi kemutlakan ayat al-Qur’an

· Hadits memberikan pengecualian terhadap pernyataan yang bersifat umum, dan

· Hadits menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh al-Qur’an.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul Karim

Al Qathan Manna, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 2006

Assiba’I Musthafa, AL-HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM,Bandung, CV.Diponegoro,1990

Chalil Moenawar, KEMBALI KEPADA AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH, Jakarta, Bulan Bintang, 1961

Khaeruman Badri, Otentisitas Hadis STUDI KRITIS ATAS KAJIAN HADIS KONTEMPORER, Bandung, Rosdakarya, 2004

TIM DOSEN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM, ISLAM Dokrin dan Dinamika Umat, Bandung, Value Press,2006



[1] Ibid, hal.83

[2] Khalil Moenawar, KEMBALI KEPADA AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH, Jakarta, Bulan Bintang, 1961, hal. 203

[3] TIM DOSEN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM, ISLAM Dokrin dan Dinamika Umat, Bandung, VALUE PRESS, 2006, hal. 61

[4] Khalil Moenawar, KEMBALI KEPADA AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH, Jakarta, Bulan Bintang, 1961, hal.206

[5] Al Qathan Manna, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 2006, hal.

[6] Ibid, hal. 73

[7] Khalil Moenawar, KEMBALI KEPADA AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH, Jakarta, Bulan Bintang, 1961, hal. 209

Minggu, 04 November 2007

TAUHID DAN PEMBAGIANNYA

1. Definisi Tauhid

1.1. Definisi Tauhid menurut bahasa

Kata kata tauhid terbentuk dari kata وحد yang dimuta’adikan dalam wazan tsulatsil majid فعّل menjadi وحّد يوحّد توحيدا yang berarti menganggap/menjadikan satu, dalam kitab At-Ta’rifat disebutkan

التوحيد فى اللغة: الحكم بأن الشئ واحد والعلم بأنه واحد

Tauhid menurut bahasa ialah hukum bahwa sesuaatu itu satu, dan ilmu bahwa sesuatu itu satu.

1.2. Definisi Tauhid menurut Istilah

Tauhid menurut istilah ialah kepercayaan bahwa Allah esa, sebagaimana diungkapkan Muhammad Thahir Badrie (1984:25) Menurut istilah ia bermakna bahwa di dunia ini hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah rabbul’alamin. Tidak ada yang disebut Tuhan atau dianggap sebagai Tuhan, atau dinobatkan sebagai Tuhan, selain Allah swt. Dan menurut Ahli Hakikat ialah mengosaongkan dzat ketuhanan daru segala pemahaman-pemahaman yang meragukan.

Secara garis besar arti Tauhid ialah meyakini bahwa Allah itu satu, sifat satu disini bukan satu yang seperti kita kenal dalam kehidupan, tetapi satu disini ialah satu yang tidak bisa dibagi lagi menjadi setengah, seperempat. Keesaan Allah tidak seperti sapu lidi yang terdiri dari batang-batang lidi yang diikat menjadi satu, sedangkan antara satu dan yang lainnya masih terpisah, keesaan Allah itu adalah esa yang tidak memiliki unsur-unsur lain sahingga tidak dapat dibagi.

Tauhid ini terkandung dalam kalimat syahadat, yaitu لا اله الا الله , sehingga kalimat tersebut disebut juga kalimat tauhid. Dalam kalimat tersebut kalau kita potong, maka kita akan mendapatkan dua unsur yaitu naïf dan itsbat. Makna nafi terdapat pada kalimat لا اله, yang berarti penafi-an atau peniadaan akan adanya Tuhan, dengan kata lain kita harus mengosongkan pikiran kita dan kepercayaan kita pada Tuhan manapun. Karena kata اله digunakan bukan kepada Allah saja, akan tetapi digunakan kepada semua benda/makhluk yang disembah. Seperti batu, pohon, candi, api dll. Dan makna itsbat terdapat pada kalimat الا الله yang berarti menetapkan bahwa Tuhan itu hanya Allah. Jadi setelah peniadaan akan adanya Tuhan kemudian diitsbatkan/ditetapkan hanya Allahlah Tuhan semesta alam.

Pemahaman dua penggalan kalimat tersebut tidak bisa dipisahkan, karena kalau dipisahkan akan menimbulkan pemahaman yang sangat keliru, yaitu pemahaman bahwa Tuhan itu tidak ada لا اله , karena dari itu pemahaman kita harus dilanjutkan kepada الا الله . sehingga menjadi sebuah pemahaman yang utuh dan benar, yaitu tiada Tuhan selain Allah.

2. Macam-macam Tauhid

Para ulama membagi tauhid ini menjadi dua macam yang masing-masingnya memiliki pembahasan yang berbeda akan tetapi memiliki kaitan yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Dua macam tauhid tersebut ialah tauhid rububiyah wal asma’ wash shifat dan tauhid uluhiyyah wal ‘ibadah.

2.1. Tauhid Rububiyyah wal Asma’ was Shifat

Tauhid rububiyyah wal asma’ wash shifat, kepercayaan bahwa pencipta alam semesta ini adalah Allah, (mohammad Thahir 1984:26) juga tentang nama-nama dan sifat-sifat yang dimiliki oleh Allah swt. Syaikh Abdurrahman bin hasan dalam kitabnya Fathul majid mengatakan bahwa tauhid rububiyah wal asma wash shifat ialah penetapan hakikat dzat Allah swt sifat-Nya, perbuatan-Nya dan nama-nama-Nya.

Dalam arti lain pada tauhid ini hanya mempercayai dan meyakini bahwa Allah itu sebagai rabb, yang menciptakan langit, bumi beserta isinya. Karena kata rabb memiliki arti mengurus. Jadi dalam tauhid ini meyakini bahwa Allah swt lah yang menciptakan dan menggurus alam semesta ini.

Orang-orang kafir dan musyrik arabpun memiliki tauhid ini, karena mereka percaya akan ketuhanan Allah. Akan tetapi mereka menyembah dan berlindung kepada yang lainnya. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-qur’an:

ûÈõs9ur NßgtFø9r'y ô`¨B öNßgs)n=yz £`ä9qà)us9 ª!$# ( 4¯Tr'sù tbqä3sù÷sムÇÑÐÈ

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: "Allah", Maka Bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah )?,” (Q.S Az Zukhruf: 87)

2.2. Tauhid Uluhiyyah wal ‘Ibadah

Allah swt berfirman:

ö/ä3ßg»s9Î)ur ×m»s9Î) ÓÏnºur ( Hw tm»s9Î) žwÎ) uqèd ß`»yJôm§9$# ÞOŠÏm§9$# ÇÊÏÌÈ

“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Q.S Al Baqarah: 163)

Tauhid Uluhiyyah wal ‘Ibadah ialah kepercayaan untuk menetapkan sifat ketuhanan itu hanyalah milik Allah belaka dengan penyaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah yang dilahirkan dengan mengucapkan kalimat thayibah لا اله الا الله (mohammad Thahir 1984:25).

Dalam tauhid ini terdapat keyakinan yang meyakini bahwa Allah adalah اله, karena itu konsekuensi dari tauhid ini adalah beribadah kepada-Nya. Syaikh Abdurrahman bin Hasan dalam kitabnya, mengutip perkataan syaikhul Islam –Ibnu Qayyim- bahwa tauhid yang dibawa oleh para rasul itu mengandung ketetapan sifat ketuhanan hanya bagi Allah saja, dengan bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Ibnu Qayyim menjelaskan konsekuensi dari syahadat dengan

Ø Tidak beribadah kecuali kepada Allah,

Ø tidak bertawakal kecualai kepada Allah,

Ø tidak berlindung kecuali kepada Allah, dan

Ø tidak beramal kecuali karena ketentuan Allah.

Dalam tauhid inilah seluruh makhluk dituntut untuk membuktikan tauhidnya dengan cara beribadah kepada-Nya. Maka dalam tauhid ini pula kemudian kita akan mengenal wajib, mubah, mandub, haram, halal dan sebagainya. Karena yang dinamakan ibadah ialah

اسم جامع لكل مايحبه الله ويرضه

“Segala sesuatu –amalan dan ucapan- yang disukai dan diridhoi oleh Allah swt”.

Karena dari itu dalam tauhid ini, kita sebagai hamba-hamba-Nya tidak bisa sembarangan –seenak sendiri- dalam melakukan ritual ibadah apalagi yang mahdhah. Karena belum tentu yang kita sukai dan kita anggap baik itu baik pula menurut Allah swt. Oleh karena itu para ahli ushul fiqih berpendapat, asalnya itu ibadah terlarang kecuali ada dalil yang menunjukkan perintah atau larangan untuk mengerjakannya. Seperti kita tidak bisa sembarangan melakukan shalat kapanpun, kecuali telah diperintah oleh Allah swt melalui Rasulnya.

Dengan kata lain, dalam Tauhid ini kita memerlukan bimbingan dan petunjuk dari Rasulullah yang diutus oleh-Nya.

DAFTAR PUSTAKA

Ø AL-QUR’ANUL KARIEM

Ø Abdurrahman bin Hasan, FATHUL MAJIED syarhu kitabit tauhid. Arriaasah al’aamah lil idaraatil buhutsul ‘ilmiyyah wal iftaa-I wad da’wati wal irsyad. Riyadl, 1411 H.

Ø Ali bin Muhammad, AT-TA’RIFAT. 1938

Ø Mohammad Thahir Badrie, SYARAH KITAB AT-TAUHID Muhammad bin abdul wahab. Pustaka Panjimas. Jakarta, 1984

Ø Muhammad bin Jamil. Arkaanul Islam wal Iman. Jami’ah Ihya at-Turaatsil Islamy. 1408 H

Wahai sang tanah, bergeraklah !!!

Tanah !!, yaa betul… kita memang diciptakan dari saripati tanah, sebuah unsure yang ada di alam ini, sesuatu yang terkadang tidak diperhatikan. Bahkan seringkalinya diinjak juga tidak jarang kita tidak perduli bahwa yang kita injak itu adalah tanah.

Sekali lagi memang benar tanah, sesuatu yang hina, bau busuk, kotor, banyak ditumbuhi lumut dan jamur. Berwarna hitam, cokelat, merah, ya… pokoknya gelap. Gelap dan bau.

Saudaraku… dari itulah kita diciptakan, unsur yang hina dan busuk… pantas saja iblis enggan sujud kepada kita, karena yanah memang biasanya dan lazimnya ada di bawah !, diinjak-injak dan dihina.

Akan tetapi ingat saudaraku, Allah swt Yang Maha Mulia telah mengangkat kita yang tadinya di bawah menjadi mulia. Sebuah penghargaan yang tak ternilai, sampai malaikat pun bersujud kepada kita. Salah satu faktor yang menjadikan iblis iri kepada kita.

Ingat wahai saudaraku, bagaimana Allah telah memuliakan kita dari hamba-hamba-Nya yang lain. Bagaimana Ia menyediakan segala apa yang ada di dunia ini untuk kita. Ia menundukkan tanaman, hewan untuk kita gunakan dan manfaatkan.

“Sungguh Kami telah menciptakan manusia pada sebaik-baiknya bentuk”, indah sekali firman Sang Pengurus kita. Dengan kekuasaan-Nya Ia menciptakan kita dari sari pati tanah dan membuat keajaiban dengan membuat jasad yang elok bagi kita, sehingga terucap dari ribuan bahkan miliyunan hamba-Nya kalimat sanjungan ketika bercermin “Yaa Allah, sebagaimana telah Engkau memperindah jasadku, maka indahkan pula lah akhlaq ku..”.

Saudaraku, kita juga mesti ingat kelanjutan firman Sang Pencipta tadi, “Kemudian kami lemparkan ia (manusia) ke tempat yang paling rendah, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih…”. Alangkah ngerinya kita ketika membaca ayat tersebut. Karena itu janganlah kita menjadi orang-orang yang dilemparkan ke tempat yang rendah, terhina dan penuh laknat.

Unsur kita adalah tanah, sedangkan tanah apabila tidak digerakkan, akan mengeras dan membatu, penuh dengan lumut dan jamur. Coba saja kita lihat sepetak sawah yang tidak pernah dibajak oleh sang pemilik. Begitupun diri kita, apabila kita tidak bergerak (beramal) maka kita akan membatu, hati kita akan mengeras dipenuhi lumut dan jamur serta berbagai parasit. Kita akan sakit !

Ingat saudaraku, kita itu harus bergerak dan terus beramal. Sehingga tumbuh di hati kita bunga-bunga yang indah, buah-buahan yang segar serta taman-taman yang hijau. Karena dari tanah yang baik akan tumbuh pohon yang baik pula. Sang Penggarap tanah pun telah menyediakan pupuk nomor satu dengan merek Islam dan airnya yang segar dari pegunungan cinta Illahi, hanya apakah kita mau menyerapnya atau kita sudah kronis oleh parasit-parasit yang menyelimuti kita ? atau hati kita sulit ditembus karena terlalu tebal dengan lumut kemunafikan ?.

Akhirnya hanya satu kata untuk kita camkan yaitu “bergeraklah…!”

Ghurfatie, 12/27/2006 11:55:59 PM

Kaum Santri

Sejarah Indonesia membuktikan, bahwa salah satu elemen dari tonggak perjuangan kemerdekaan Indonesia ialah kaum santri. Dengan semangat mereka yang dilandasi oleh pondasi pemahaman agama, menjadikan perjuangan mereka bukanlah perjuangan yang hanya mengusir penjajah, akan tetapi perjuangan mereka menjadi perjuangan yang suci karena agama. Hal ini membuat mereka tak gentar dengan apa yang mereka hadapi, menjadikan bambu runcing menang melawan senapan mesin, menjadikan peci lebih kuat dari helm tentara yang terbuat dari baja, dan menjadikan sarung lebih gagah dari seragam. Sehingga kalimat takbir lebih ditakuti penjajah daripada dentuman bom. Hal yang membuat mereka istimewa ialah mereka tidak terkait dengan kepentingan politik siapapun, ideologi mereka yang tulus mengantarkan bangsa ini menghirup sebuah kemerdekaan. Bahkan mungkin kita telah lupa bahwa kemerdekaan Indonesia ini juga diraih di bulan Ramadlan, bulan yang disucikan dan diagungkan oleh kaum muslimin

Di pesantren mereka mempelajari apa, bagaimana agama. Di luar pesantren mereka bertemu dengan kenyataan masyarakat.Mereka adalah perpaduan dari kesucian agama dan pedihnya realitas. Hal ini membuat kaum santri bisa lebih berpikir bijak dan lebih peka terhadap lingkungan sekitar. Mereka ialah orang-orang sederhana yang senang belajar dari sebuah keidealisan dan realita. Hati mereka menggenggam langit dan kaki mereka menancap ke tanah. Memang benar, bangsa yang besar ini ialah bangsa yang diamanatkan oleh kaum santri yang selalu gigih berjuang demi mempertahankan ideologinya tanpa mengabaikan realita yang terjadi di masyarakat. Mereka menjadikan agama sebagai pegangan dan realita sebagai bahan pemikiran.

Kini bangsa ini telah merdeka dan besar, sudah 62 tahun berlalu sejak kemerdekaan dikumandangkan dan proklamasi dibacakan. Negara indonesia berusaha membangun dirinya sendiri dengan segenap kemampuan. akan tetapi apakah kaum santripun sudah punah? Apakah rahim-rahim muslimah Indonesia ini sudah tidak mampu melahirkan kaum santri ini?.

Memang benar, sekarang banyak pesantren-pesantren didirikan. Baik itu yang modern ataupun yang masih bertahan dengan tradisi lama. Akan tetapi sepertinya semangat dan ruh kaum santri ini seakan-akan memudar dan lenyap terlindas kuatnya arus peradaban. Kini para santri terjebak dengan gaya berpikir yang pendek dan menurut saya sekarang mereka terkena penyakit malas untuk berfikir dan menggunakan otak mereka untuk memecahkan kemelut yang terjadi di amsyarakat. Mereka lebih senang menggunakan kepala mereka untuk bergaya dan memikat lawan jenisnya, yang mereka uruskan hanyalah model rambut yang sedang trend saja tanpa menghiraukan apa yang harus mereka isi kedalam kepala mereka. Kumpulan-kumpulan study dan diskusi sudah tidak menarik lagi bagi mereka, mereka sibuk dengan pembicaraan gaya pakaian yang sedang up date. Gagasan-gagasan mereka yang brilian dan kreatif kini tertutupi dengan lagu-lagu romantis, cinta bahkan cabul!. Mata mereka yang dahulu sangat peka terhadap kedhaliman dan kemaksiatan, kini telah rabun oleh film-film. Mereka kini berada di alam mimpi! Langit tidak lagi mereka jungjung, bumi bukan lagi menjadi perhartian mereka!, yang ada dalam benak mereka ialah diri mereka sendiri!, rasa kepedulian dan ideologi mereka terkubur sudah menyatu dengan tanah yang busuk.

To be countinued